UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
b. bahwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta akhlak mulia dalam bangsa yang diatur dengan undang-undang;
c. bahwa sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;
d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan
agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu
membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia dantanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman.
3. Sistem pendidikan
nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4. Peserta didik
adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu.
5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6. Pendidik adalah
tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan
lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.
7. Jalur pendidikan
adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi
diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
8. Jenjang
pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat
perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan
yang dikembangkan.
9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
10. Satuan
pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap
jenjang dan jenis pendidikan.
11. Pendidikan
formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.
12. Pendidikan
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14. Pendidikan anak
usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak
lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian
rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut.
15. Pendidikan jarak
jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan
pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi
komunikasi, informasi, dan media lain.
16. Pendidikan
berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan
kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai
perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
17. Standar nasional
pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18. Wajib belajar
adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
19. Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
21. Evaluasi
pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu
pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan.
22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
23. Sumber daya
pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana,
dan prasarana.
24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
25. Komite
sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang
tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang
peduli pendidikan.
26. Warga Negara
adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
27. Masyarakat
adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai
perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.28. Pemerintah adalah
Pemerintah Pusat.
29. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.
30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
BAB II
DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
BAB III
PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Pasal 4
(1) Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui
peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
(2) Warga negara
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3) Warga negara di
daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil
berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pasal 6
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7
(1) Orang tua berhak
berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi
tentang perkembangan pendidikan anaknya.
(2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 10
Pemerintah dan
Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan
mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
(1) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi.
(2) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun.
BAB V
PESERTA DIDIK
Pasal 12
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:
a. mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama;b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya;
c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;
f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak
menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2) Setiap peserta didik berkewajiban:
a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;
b. ikut menanggung
biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang
dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Warga negara
asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
(2) Pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem
terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
Pasal 14
Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Pasal 16
Jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Bagian Kedua
Pendidikan Dasar
Pasal 17
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
(2) Pendidikan dasar
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(3) Ketentuan
mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pendidikan Menengah
Pasal 18
(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
(3) Pendidikan
menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),
atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Ketentuan
mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pendidikan Tinggi
Pasal 19
(1) Pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan
doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Pasal 20
(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
(4) Ketentuan
mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1) Perguruan tinggi
yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak
menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar
akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang
diselenggarakannya.
(2) Perseorangan,
organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi
dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(3) Gelar akademik,
profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi
yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(4) Penggunaan gelar
akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya
dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan
tinggi yang bersangkutan.
(5)
Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan
perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan
pendidikan.
(6) Gelar akademik,
profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau
penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dinyatakan tidak sah.
(7) Ketentuan
mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
Universitas,
institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak
memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap
individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa
yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi,
kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.
Pasal 23
(1) Pada
universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau
profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sebutan guru
besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih
aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Pasal 24
(1) Dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada
perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar
akademik serta otonomi keilmuan.
(2) Perguruan tinggi
memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian
kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi
dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya
dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
(4) Ketentuan
mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 25
(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(2) Lulusan
perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar
akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut
gelarnya.
(3) Ketentuan
mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi,
atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pendidikan Nonformal
Pasal 26
(1) Pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat.
(2) Pendidikan
nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan
pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim,
serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan
bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan
nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal
setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan.
(7) Ketentuan
mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Pendidikan Informal
Pasal 27
(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
(2) Hasil pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan
standar nasional pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pendidikan Anak Usia Dini
Pasal 28
(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
(3) Pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK),
Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain
(KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
(5) Pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga
atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
(6) Ketentuan
mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pendidikan Kedinasan
Pasal 29
(1) Pendidikan
kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(2) Pendidikan
kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam
pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu
departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
(4) Ketentuan
mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Pendidikan Keagamaan
Pasal 30
(1) Pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat
dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan
mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Pendidikan Jarak Jauh
Pasal 31
(1) Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Pendidikan jarak
jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat
yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
(3) Pendidikan jarak
jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang
didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang
menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(4) Ketentuan
mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesebelas
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pasal 32
(1) Pendidikan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa.
(2) Pendidikan
layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah
terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi
ekonomi.
(3) Ketentuan
mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
BAHASA PENGANTAR
Pasal 33
(1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
(2) Bahasa daerah
dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan
apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan
tertentu.
(3) Bahasa asing
dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu
untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
BAB VIII
WAJIB BELAJAR
Pasal 34
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib belajar
merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(4) Ketentuan
mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Pasal 35
(1) Standar nasional
pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan
berkala.
(2) Standar nasional
pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3) Pengembangan
standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya
secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi,
penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan
mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB X
KURIKULUM
Pasal 36
(1) Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Kurikulum pada
semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan
peserta didik.
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j.persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(4) Ketentuan
mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
(3)
Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah
di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi
untuk pendidikan menengah.
(3) Kurikulum
pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program
studi.
(4) Kerangka dasar
dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan
tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk setiap program studi.
BAB XI
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Pasal 39
(1) Tenaga
kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses
pendidikan pada satuan pendidikan.
(2) Pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan
dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Pasal 40
(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan
e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
(2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Pasal 41
(1) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.
(2) Pengangkatan,
penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh
lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan
formal.
(3) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik
dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.
(4) Ketentuan
mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 42
(1) Pendidik harus
memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Pendidik untuk
pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan
tinggi yang terakreditasi.
(3) Ketentuan
mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
(1) Promosi dan
penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan
latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja
dalam bidang pendidikan.
(2) Sertifikasi
pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
(3) Ketentuan
mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
(2) Penyelenggara
pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.
(3) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
BAB XII
SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
Pasal 45
(1) Setiap satuan
pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang
memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan
peserta didik.
(2) Ketentuan
mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENDANAAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan
Pasal 46
(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(2) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan
mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Sumber Pendanaan Pendidikan
Pasal 47
(1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
(2) Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan
mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Dana Pendidikan
Pasal 48
(1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
(2) Ketentuan
mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengalokasian Dana Pendidikan
Pasal 49
(1) Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
(2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(3) Dana pendidikan
dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan
dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Dana pendidikan
dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 50
(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.
(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
(3)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan
untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional.
(4) Pemerintah
Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan,
pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas
penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah.
(5) Pemerintah
Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta
satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
(7) Ketentuan
mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
(1) Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan
prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
(2) Pengelolaan
satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
(3) Ketentuan
mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
(1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Ketentuan
mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Badan Hukum Pendidikan
Pasal 53
(1) Penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan
dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 54
(1) Peran serta
masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
(3) Ketentuan
mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pasal 55
(1) Masyarakat
berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan
formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial,
dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara
pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum
dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan
standar nasional pendidikan.
(3) Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber
lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
(4) Lembaga
pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah.
(5) Ketentuan
mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah
Pasal 56
(1) Masyarakat
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan pendidikan
sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu
pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan
hirarkis.
(3) Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada
tingkat satuan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI
Bagian Kesatu
Evaluasi
Pasal 57
(1) Evaluasi
dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan.
(2) Evaluasi
dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada
jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis
pendidikan.
Pasal 58
(1) Evaluasi hasil
belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta
didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga
mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk
menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat
dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk
melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(3) Ketentuan
mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Akreditasi
Pasal 60
(1) Akreditasi
dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada
jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis
pendidikan.
(2) Akreditasi
terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah
dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas
publik.
(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
(4) Ketentuan
mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Sertifikasi
Pasal 61
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan
kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar
dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
(3) Sertifikat
kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan
kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap
kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji
kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
(4) Ketentuan
mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVII
PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN
Pasal 62
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(2) Syarat-syarat
untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan,
pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen
dan proses pendidikan.
(3) Pemerintah atau
Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Ketentuan
mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 63
Satuan pendidikan
yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di
negara lain menggunakan ketentuan Undang-undang ini.
BAB XVIII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN
Pasal 64
Satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara
Kesatuan RepublikIndonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat
menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas
persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 65
(1) Lembaga
pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat
menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Lembaga
pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib
memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga
Negara Indonesia.
(3) Penyelenggaraan
pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga
pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia.
(4) Kegiatan
pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang
diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
(5)
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/
madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua
jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan
masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
(3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 67
(1) Perseorangan,
organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah,
sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa
hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Penyelenggara
perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5)
dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(3) Penyelenggara
pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan
melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(4) Penyelenggara
pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68
(1) Setiap orang
yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi
persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Setiap orang
yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,
dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak
memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(3) Setiap orang
yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan
singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(4) Setiap orang
yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak
sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69
(1) Setiap orang
yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi,
dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang
yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3)
yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 70
Lulusan yang karya
ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan
jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 71
Penyelenggara satuan
pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
Penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang pada saat Undang-undang ini
diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-undang
yang mengatur badan hukum pendidikan.
Pasal 73
Pemerintah atau
Pemerintah Daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada
satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat Undang-undang ini
diundangkan belum memiliki izin.
Pasal 74
Semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada
saat diundangkannya Undang- undang ini masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 75
Semua peraturan
perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-undang ini
harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya
Undang-undang ini.
Pasal 76
Pada saat mulai
berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang
Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960
Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun
1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 77
Undang-undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2003